RENUNGAN JUMAT AGUNG - KASIH YANG MENGALAHKAN SALIB


Renungan Jumat Agung: “Kasih yang Mengalahkan Salib”

Jumat Agung selalu menjadi momen yang membawa kita kembali pada inti kekristenan: kasih yang tak terbatas, dinyatakan lewat penderitaan dan kematian Yesus Kristus di kayu salib. Bukan sekadar sejarah, ini adalah kenyataan rohani yang mengubah dunia dan hidup kita sampai hari ini.

Setiap luka, cambukan, dan paku yang menancap bukanlah tanpa makna. Semua itu adalah bukti kasih Allah yang rela turun ke dalam penderitaan manusia untuk menyelamatkan kita dari dosa dan maut.

Dalam Yesaya 53:4-5, kita membaca bahwa penyakit dan penderitaan kitalah yang ditanggung oleh-Nya. Bukan karena Ia bersalah, tetapi karena kasih-Nya menanggung segala akibat pemberontakan kita.

Yesus tidak hanya mati secara fisik, tetapi Ia juga menanggung keterpisahan dari Bapa—suatu penderitaan batiniah yang paling dalam. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46) adalah jeritan yang lahir dari kedalaman pengorbanan-Nya.

Jumat Agung bukan hari untuk berduka tanpa pengharapan, melainkan hari untuk menyadari betapa besar harga yang telah dibayar untuk keselamatan kita. Tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih yang rela menyerahkan nyawa bagi sahabat-Nya (Yohanes 15:13).

Di tengah dunia yang penuh kebisingan, Jumat Agung mengajak kita diam sejenak, merenung dalam sunyi, dan melihat salib itu berdiri kokoh sebagai simbol kasih dan kemenangan.

Kadang kita terbiasa dengan simbol salib, tetapi lupa merenungkan realitas penderitaan yang terjadi di sana. Salib bukan sekadar perhiasan, tapi bukti nyata kasih yang berdarah dan berkorban.

Bagaimana mungkin seorang yang tidak bersalah menanggung hukuman orang lain? Di sinilah letak keajaiban Injil—kasih karunia yang diberikan bukan karena kita layak, tapi karena Allah mengasihi kita terlebih dahulu.

Jumat Agung mengingatkan kita bahwa pengampunan bukan datang dari usaha manusia, melainkan dari karya Kristus. Ia menyelesaikan segalanya di salib dan berkata, “Sudah selesai” (Yohanes 19:30).

Tidak ada dosa yang terlalu berat yang tidak bisa ditebus oleh darah Yesus. Bahkan pencuri di samping-Nya pun diampuni dan dijanjikan Firdaus, hanya karena ia percaya dan berseru kepada-Nya.

Ini memberi harapan bagi kita semua—bahwa siapa pun kita, seburuk apa pun masa lalu kita, kasih Yesus sanggup mengubahkan dan menyelamatkan kita sepenuhnya.

Jumat Agung juga mengajak kita untuk hidup dalam pertobatan. Jika Kristus sudah menebus dosa kita dengan begitu mahal, bagaimana mungkin kita hidup seenaknya?

Pertobatan bukan hanya tangisan sesaat, melainkan perubahan hidup yang sejati. Kita meninggalkan dosa karena kita sadar, dosa itu telah memaku Kristus di kayu salib.

Dalam kesendirian-Nya di salib, Yesus memahami kesepian kita. Dalam penderitaan-Nya, Ia memahami luka kita. Tidak ada pengalaman hidup yang tidak dipahami-Nya—karena Ia telah melewati semuanya untuk kita.

Maka ketika kita merasa hancur, kecewa, atau tak berdaya, ingatlah bahwa Kristus sudah lebih dahulu merasakannya, dan Ia sanggup menopang kita.

Jumat Agung juga menjadi ajakan untuk mengampuni orang lain. Jika Yesus saja bisa berkata, “Bapa, ampunilah mereka,” bagaimana mungkin kita menyimpan dendam?

Pengorbanan Kristus bukan hanya untuk disyukuri, tapi juga diteladani. Kita dipanggil untuk memikul salib setiap hari—hidup dalam kasih, kerendahan hati, dan pengorbanan.

Setiap kali kita merenungkan salib, seharusnya hati kita kembali diteguhkan bahwa hidup ini bukan tentang kita, tetapi tentang Kristus yang telah mati bagi kita.

Jumat Agung adalah titik balik: dari hukuman menuju pengampunan, dari kematian menuju kehidupan, dari dosa menuju anugerah. Salib adalah jembatan dari bumi ke surga.

Maka mari kita sambut Jumat Agung ini dengan hati yang penuh syukur dan pertobatan. Mari hidup sebagai orang-orang yang telah ditebus, memuliakan Kristus, dan membagikan kasih-Nya kepada dunia yang terluka.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama