"Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah."
Kesulitan Agustinus tidak hanya bersifat intelektual tetapi juga spiritual, yang tercermin dalam perjuangan panjangnya untuk memahami hubungan antara iman dan akal, serta misteri Allah Tritunggal.
1. Latar Belakang Filosofis Agustinus
Sebelum bertobat menjadi seorang Kristen, Agustinus sangat dipengaruhi oleh filsafat neoplatonisme yang dikembangkan oleh Plotinus. Dalam pandangan ini, ada hierarki realitas di mana yang tertinggi adalah "Satu" (The One), sumber dari segala keberadaan. Ide-ide neoplatonisme sangat memengaruhi cara Agustinus memahami konsep Ketuhanan, tetapi mereka tidak menyediakan kerangka yang jelas untuk memahami hubungan personal dalam Trinitas, seperti yang ditunjukkan dalam Yohanes 1:1.
Konsep bahwa "Firman adalah Allah" dan "Firman bersama dengan Allah" menantang gagasan tunggalitas (monisme) neoplatonis. Bagi Agustinus, sulit untuk mendamaikan gagasan tentang Allah yang esa dengan pengungkapan Trinitas sebagai tiga pribadi yang berbeda tetapi satu esensi.
2. Kesulitan Linguistik dan Teologis
Ayat Yohanes 1:1 menggunakan istilah Yunani Logos (Firman), yang memiliki banyak makna dalam filsafat Yunani dan tradisi Yahudi. Dalam filsafat Yunani, Logos sering merujuk pada prinsip rasional universal atau "akal ilahi" yang mengatur alam semesta. Dalam konteks Kristen, Logos menunjuk pada pribadi kedua dari Tritunggal, yaitu Yesus Kristus.
Kesulitan Agustinus terletak pada memahami bagaimana Logos yang kekal ini dapat:
- Berada bersama dengan Allah (Bapa) – Menunjukkan perbedaan pribadi.
- Menjadi Allah itu sendiri – Menunjukkan kesatuan esensi.
Bagi pikiran filsafat seperti Agustinus, gagasan ini tampak kontradiktif secara logis, sehingga ia memerlukan waktu untuk mengintegrasikan pemahaman teologis ini ke dalam kerangka filsafatnya.
3. Pengalaman Pribadi Agustinus
Dalam otobiografinya, Confessiones (Pengakuan), Agustinus mengungkapkan bahwa sebelum pertobatannya, ia memahami Kitab Suci secara harfiah dan dangkal. Ketika membaca Yohanes 1:1, ia merasa bahwa kata-kata ini sangat mendalam dan penuh misteri. Ia bergumul dengan bagaimana memahami istilah "pada mulanya" (in principio), yang tidak merujuk pada waktu awal penciptaan tetapi pada kekekalan.
Ia juga berjuang dengan bagaimana memahami Yesus Kristus sebagai Logos, Firman yang menjadi manusia (Logos sarx egeneto). Sebagai mantan penganut Manikeisme, ia awalnya memandang dunia material sebagai sesuatu yang rendah dan jahat. Oleh karena itu, gagasan tentang Allah yang kekal mengambil bentuk manusia tampak sangat membingungkan baginya.
4. Pertolongan dari Neoplatonisme
Meskipun awalnya menjadi hambatan, neoplatonisme akhirnya membantu Agustinus untuk memahami beberapa konsep dalam Yohanes 1:1. Neoplatonisme mengajarkan bahwa yang tertinggi adalah kekal dan transenden, tetapi juga menjadi sumber dari segala sesuatu. Agustinus mulai menyadari bahwa Logos dapat menjadi "prinsip menengah" yang menghubungkan Allah yang kekal dengan ciptaan-Nya.
Namun, perbedaan utama adalah bahwa dalam Kekristenan, Logos bukanlah sekadar prinsip abstrak, tetapi pribadi yang nyata dalam Tritunggal, yaitu Yesus Kristus. Inilah yang membuatnya kesulitan menerima konsep ini secara penuh, sampai ia mengalami pertobatan dan penyerahan kepada iman Kristen.
5. Penyelesaian dan Pemahaman Akhir
Setelah pertobatannya, Agustinus menulis secara ekstensif tentang Tritunggal dalam karyanya De Trinitate. Dalam karya ini, ia mencoba menjelaskan misteri hubungan antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus menggunakan analogi yang diambil dari pengalaman manusia, seperti memori, pemahaman, dan kehendak.
Ia akhirnya memahami Yohanes 1:1 sebagai berikut:
- "Pada mulanya adalah Firman" – Menunjukkan kekekalan Logos, bahwa Yesus Kristus tidak diciptakan tetapi selalu ada.
- "Firman itu bersama-sama dengan Allah" – Menunjukkan hubungan personal antara Yesus (Anak) dan Allah Bapa.
- "Firman itu adalah Allah" – Menegaskan kesatuan esensi antara Bapa dan Anak.
Bagi Agustinus, pemahaman ini hanya mungkin dengan pertolongan Roh Kudus, yang membimbing akal budi manusia untuk memahami hal-hal ilahi yang melampaui rasio manusia.
Kesimpulan
Kesulitan Santo Agustinus dalam memahami Yohanes 1:1 adalah bukti perjuangannya untuk mendamaikan filsafat dengan teologi Kristen. Proses ini menunjukkan transformasi intelektual dan spiritualnya, dari seorang filsuf yang mencari kebenaran dalam rasio manusia, menjadi seorang teolog yang menemukan kebenaran dalam wahyu ilahi. Yohanes 1:1 menjadi pusat refleksinya tentang Tritunggal, menunjukkan bahwa iman tidak meniadakan akal tetapi melampauinya, membawa manusia kepada pemahaman yang lebih mendalam tentang Allah yang penuh misteri.
0 Komentar