Gereja Ortodoks adalah salah satu tradisi Kekristenan tertua di dunia, dengan sejarah yang kaya yang membentang lebih dari dua ribu tahun. Sejarahnya berawal dari para rasul Yesus Kristus di abad pertama. Gereja Ortodoks mengklaim kontinuitas langsung dari Gereja perdana yang didirikan oleh Yesus Kristus dan para rasul, yang diteruskan melalui pengajaran dan tradisi yang tidak terputus hingga saat ini. Gereja ini berpusat pada iman dan ajaran-ajaran yang diturunkan dari para Rasul dan merupakan salah satu dari tiga cabang utama Kekristenan, bersama dengan Katolik Roma dan Protestan.
Pada masa awal Kekristenan, para pengikut Yesus menyebarkan ajaran-Nya ke berbagai wilayah di Kekaisaran Romawi. Rasul Paulus, Rasul Petrus, dan para rasul lainnya mengembara ke berbagai daerah, mendirikan jemaat-jemaat di kota-kota penting seperti Yerusalem, Antiokhia, Aleksandria, Roma, dan Konstantinopel. Kota-kota ini kemudian dikenal sebagai pusat utama Kekristenan dan menjadi gereja-gereja besar yang berpengaruh. Gereja Ortodoks, khususnya, menganggap Yerusalem sebagai pusat rohani utama, karena di sanalah Yesus disalibkan dan bangkit.
Pada abad keempat, Kekristenan mendapatkan momentum besar ketika Kaisar Romawi Konstantinus Agung menerima agama Kristen dan mengeluarkan Edik Milano pada tahun 313, yang mengakhiri penganiayaan terhadap orang Kristen. Konstantinus juga memindahkan ibu kota Romawi ke Byzantium, yang kemudian dikenal sebagai Konstantinopel. Kota ini menjadi pusat utama bagi Kekristenan Timur, yang pada saat itu dikenal sebagai gereja Bizantium atau Ortodoks. Konstantinus memperkenalkan dan mempromosikan Konsili-konsili Ekumenis untuk menyelesaikan perbedaan teologis dan memperkuat kesatuan gereja.
Konsili Ekumenis pertama diadakan di Nicea pada tahun 325 Masehi. Konsili ini mengembangkan Kredo Nicea yang menjadi dasar ajaran iman Kekristenan Ortodoks. Kredo ini merangkum kepercayaan dasar dalam Trinitas – Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus – serta peran Yesus sebagai Anak Allah. Konsili Ekumenis ini merupakan bagian penting dari tradisi gereja Ortodoks dan masih dipegang erat sebagai dasar iman mereka. Konsili-konsili Ekumenis berikutnya juga berperan penting dalam membentuk ajaran dan praktik Gereja Ortodoks, seperti Konsili Konstantinopel, Efesus, dan Kalsedon.
Gereja Ortodoks Timur berkembang pesat di bawah Kekaisaran Bizantium dan menghasilkan warisan yang kaya dalam hal teologi, seni, dan liturgi. Pada masa inilah liturgi Ortodoks berkembang, terutama yang dipengaruhi oleh karya-karya Santo Basilius dan Santo Yohanes Krisostomus. Liturgi ini sarat dengan simbolisme, nyanyian, ikon, dan ritual yang penuh hormat, yang masih digunakan hingga saat ini dalam ibadah Ortodoks. Ikon menjadi elemen yang sangat penting dalam ibadah Ortodoks, karena dipercaya sebagai jendela untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan para santo.
Pada abad ke-8 dan ke-9, Gereja Ortodoks menghadapi tantangan besar dalam bentuk ikonoklasme, yaitu gerakan yang menolak penggunaan ikon dalam ibadah. Pada masa itu, banyak ikon dihancurkan, dan umat Ortodoks yang setia kepada ikon ditindas. Namun, setelah perjuangan yang panjang, Gereja Ortodoks mempertahankan keyakinannya terhadap ikon sebagai bagian integral dari ibadah mereka. Kemenangan ini dirayakan dalam perayaan Ortodoksi pada Minggu Ortodoks, yang tetap dirayakan hingga saat ini sebagai tanda kemenangan iman Ortodoks atas ikonoklasme.
Meskipun Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Roma pada awalnya adalah satu gereja, perbedaan antara keduanya mulai tumbuh seiring waktu. Salah satu pemisahan terbesar adalah perbedaan dalam hal doktrin, tata ibadah, dan otoritas kepausan. Gereja Ortodoks menolak klaim supremasi paus di Roma atas seluruh gereja. Menurut Gereja Ortodoks, setiap patriark atau uskup agung memiliki otoritas yang sama. Pemimpin Gereja Ortodoks hanya dianggap sebagai "yang pertama di antara yang sederajat," tanpa kekuasaan mutlak.
Pemisahan resmi, yang dikenal sebagai Skisma Besar, terjadi pada tahun 1054, ketika Patriark Konstantinopel Michael Cerularius dan Paus Leo IX saling mengekskomunikasi. Ini adalah titik balik besar dalam sejarah Kekristenan yang memisahkan gereja Timur dan Barat. Meskipun telah ada upaya rekonsiliasi selama berabad-abad, perpecahan ini tetap ada hingga hari ini, dengan Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks tetap sebagai dua tradisi yang terpisah.
Selama abad ke-13, Konstantinopel jatuh ke tangan Tentara Salib selama Perang Salib Keempat, yang menyebabkan kehancuran besar di kota tersebut dan semakin memperburuk hubungan antara Timur dan Barat. Kehancuran ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan dan memperkuat perpecahan antara Gereja Ortodoks dan Katolik. Namun, meskipun mengalami penindasan, Gereja Ortodoks tetap bertahan di bawah kekuasaan Bizantium yang tersisa dan terus berlanjut setelah Konstantinopel akhirnya jatuh ke tangan Kekaisaran Ottoman pada tahun 1453.
Setelah jatuhnya Konstantinopel, pusat Gereja Ortodoks berpindah ke wilayah lain, terutama Rusia. Gereja Ortodoks Rusia muncul sebagai penerus spiritual dari Byzantium dan mendapatkan status penting dalam dunia Ortodoks. Para tsar Rusia mengklaim gelar “Tsar Ketiga Roma” sebagai pewaris iman Ortodoks. Rusia pun menjadi pusat kekuatan baru Ortodoks dan melindungi serta memperluas ajaran Ortodoks ke Asia Tengah dan Eropa Timur.
Gereja Ortodoks terus mengalami tantangan selama berabad-abad, terutama selama revolusi komunis di Rusia pada abad ke-20. Pemerintahan komunis menganiaya Gereja Ortodoks secara brutal, menghancurkan gereja-gereja, menangkap para pemimpin gereja, dan melarang praktik keagamaan. Namun, meskipun mengalami penindasan yang sangat keras, Gereja Ortodoks Rusia tetap bertahan dan menemukan cara untuk melanjutkan ibadah mereka di bawah tanah.
Pada pertengahan abad ke-20, Gereja Ortodoks mulai pulih dari dampak pemerintahan komunis. Setelah jatuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, Gereja Ortodoks Rusia mengalami kebangkitan besar, dan banyak gereja yang dibangun kembali. Di Yunani dan negara-negara Ortodoks lainnya, gereja-gereja tetap menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat, memberikan pengaruh besar dalam aspek sosial, budaya, dan politik.
Secara global, Gereja Ortodoks memiliki beberapa cabang yang terorganisir di berbagai negara, seperti Gereja Ortodoks Yunani, Rusia, Serbia, dan Antiokhia. Setiap gereja nasional memiliki otonomi tetapi tetap berada dalam persatuan iman Ortodoks. Liturgi, ajaran, dan praktik Ortodoks tetap seragam di seluruh dunia, mempertahankan tradisi kuno yang diwariskan oleh para Rasul dan Bapa Gereja.
Pada abad modern ini, Gereja Ortodoks memainkan peran penting dalam dialog antar agama dan upaya menuju persatuan dengan Gereja Katolik dan denominasi Kristen lainnya. Upaya dialog ekumenis ini bertujuan untuk menjembatani perbedaan sejarah yang telah memisahkan gereja-gereja selama berabad-abad. Meskipun ada tantangan yang kompleks, Gereja Ortodoks terbuka untuk berdialog, meskipun tetap mempertahankan ajaran-ajaran dasarnya yang telah dijaga selama ribuan tahun.
Di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya, Gereja Ortodoks kini mulai bertumbuh sebagai bagian dari misi globalnya. Gereja Ortodoks masuk ke Indonesia melalui misionaris yang memperkenalkan iman Ortodoks, dan hingga saat ini jemaat Ortodoks di Indonesia semakin berkembang. Ibadah Ortodoks yang khusyuk, indah, dan berakar dalam tradisi purba menarik minat banyak orang yang mencari kedalaman spiritual.
Dalam seluruh perjalanannya, Gereja Ortodoks telah melalui masa-masa kejayaan, penindasan, dan kebangkitan. Dari Timur Tengah ke Eropa Timur, hingga ke Asia, Amerika, dan Afrika, Gereja Ortodoks tetap berdiri teguh, mempertahankan iman kepada Tuhan dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan. Ajaran-ajaran tentang Trinitas, inkarnasi, dan keselamatan tetap menjadi landasan iman yang dianut dan dihormati.
Secara keseluruhan, Gereja Ortodoks memberikan warisan spiritual yang kaya bagi dunia, terutama dalam liturgi, ikonografi, teologi, dan mistisisme Kristen. Melalui perjalanan panjang dan penuh tantangan, Gereja Ortodoks tetap menjadi saksi dari iman Kristen yang terus-menerus memancarkan cahaya Kristus ke dalam dunia yang gelap. Di abad ini, Gereja Ortodoks terus membuka diri bagi dunia, menjaga tradisinya sekaligus merespons tantangan zaman modern.
Posting Komentar